Senin, 24 Juli 2017

PBB Tak Berdaya, Bungkamnya Negara-Negara Arab, Hingga Hutang OKI yang Belum Terbayar.

Tragedi Aqsa:
PBB Tak Berdaya, Bungkamnya Negara-Negara Arab, Hingga Hutang OKI yang Belum Terbayar.

Aksi keamanan Israel dalam 2 pekan terakhir yang melakukan serangan terhadap warga Palestina di Masjidil Aqsa (Al Quds, Yerussalem) setelah mereka “tidak mematuhi" larangan Israel untuk memasuki kawasan masjid merupakan tindakan diluar nalar kemanusiaan.
Banyak negara yang mengecam tindakan tersebut seperti Iran, Indonesia, dan beberapa negara lainnya, namun kecaman ini dan kecaman-kecaman yang sudah ada sebelumnya (terkait penyerangannya terhadap warga sipil Palestina) tidak pernah diindahkan oleh Israel.
Apa yang dilakukan rakyat Palestina untuk beribadah di Masjidil Aqsa tidak masuk dalam kategori 5 alasan utama larangan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan (pada tingkat forum eksternum) yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) ICCPR 1966 yang muatannya merupakan turunan dari The Universal Declaratian of Human Rights 1948. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Tentara Israel melanggar HAM Internasional.
PBB menjadi tidak berdaya ketika negara pemilik veto saling berseteru demi kepentingan politik dan ekonomi negaranya pada konflik suriah. Dewan Keamanan seolah bungkam dalam setiap aksi keji yang dilakukan Israel. Dan seolah melegitimasi tindakan Israel dan menghimbau penghormatan Pasal 2 Piagam PBB tentang larangan intervensi.
Negara-negara Arab sibuk mengurus "perceraiannya” dengan Qatar, setidaknya ada 7 negara Arab yang telah memutuskan hubungan Doplomatik dengan Qatar, dan mengamini seruan Dewan Keamanan tentang Pasal 2 Piagam, tanpa sadar diri bahwa ada entitas lain dari wilayah regionalnya yang perlu mendapat bantuan kemanusiaan.
Pun demikian dengan kondisi Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI pada Maret 2016 di Jakarta, dimana Presiden RI Joko Widodo dalam beberapa kalimat pidatonya dalam forum tersebut yang menyatakan "Dunia Islam masih memiliki utang kemerdekaan kepada rakyat Palestina. Perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan kita semuanya. Insya Allah, kita dapat menyaksikan kemerdekaan Palestina dalam hidup kita”. Yang kemudian di follow up dengan KTT OKI Bulan April 2016 di Istanbul Turki menjadi tidak berarti, isu Palestina yang menjadi rujukan dan penegasan kembali mengenai pentingnya soliditas OKI dalam menyelesaikan tantangan baru sebagai salah satu dari tiga isu pokok seolah menjadi lips service ketika penyerangan dalam 2 pekan lalu tidak ada tanda-tanda peranan OKI dalam membela rakyat Palestina, minimal melakukan pertemuan darurat untuk membahas situasi di kompleks Al Aqsa.
Israel terus berusaha menguasai Masjid Al-Aqsa selepas insiden penembakan Jumat lalu. sampai menutup dan melarang warga Palestina melakukan salat Jumat dan bahkan memasang detektor bagi warga Palestina yang ingin melakukan ibadah di sana (merdeka news).
Palestina seolah berjuang sendirian melawan rezim  Israel, walaupun ada kecaman-kecaman dari beberapa negara atas tindakan Israel, hal tersebut hanyalah sekedar penyemangat saja (yang menandakan masih adanya perhatian negara lain bagi perjuangan mereka). Janji manis OKI tidak berani ditagih oleh rakyat Palestina, seolah mereka sungkan dan sudah terbiasa oleh janji-janji yang selama ini ditawarkan kepadanya. Oleh karena itu, negara-negara Arab yang masih memiliki nalar yang cukup baik, dan negara-negara yang masih respect terhadap penegakan HAM seharusnya mengambil tindakan nyata dengan dasar “Intervensi Kemanusiaan” yang selama ini telah dipraktikkan dan hampir menjadi kebiasaan dalam hukum internasional modern, ini dapat dilihat pada praktik intervensi kemanusiaan di Irak Tahun 1991, Somalia Tahun 1992, Kosovo Tahun 1999, hingga di Libya Tahun 2011.
Ada celah yang diberikan dalam mekanisme hukum internasional dalam melegalisasi sebuah intervensi (J.G. Starke, 1954). Memang dalam ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober 1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang Berkaitan dengan Piagam PBB. Namun Doktrin internasional seperti yang dikemukakan oleh Teson (dalam Tesis Eric Adjei, di University of Georgia, 2005, lihat Senandika Hukum Artikel Lepas Tahun 2008), ada beberapa hal yang dianggap lazim dalam kebiasaan internasional mengenai intervensi kemanusiaan yang salah satunya adalah ada alasan kemanusian yang digunakan sebagai justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata.
Selain itu, penafsiran Pasal 1 ayat 3 Piagam PBB "To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion” dan Pasal 2 ayat 4 "All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations” dapat dijadikan dasar legitimasi bagi semua negara untuk bertindak menghentikan tindakan keji Israel ke Palestina, tentunya selain doktrin dan international custom yang juga merupakan sumber hukum internasional.
Kita lihat daja, bagaimana political will negara-negara kedepannya untuk membantu Palestina, utamanya sikap dan tindakan OKI dan PBB.
Palestina, kami selalu mendoakanmu . . . . .
Salam hangat dari kami Rakyat Indonesia.

#SAVEALAQSA
#BANTUSHARE